Senin, 22 Mei 2017

PENGERTIAN ASAS-ASAS DEMOKRASI, HAKIKAT NAMA, DAN TIPE DEMOKRASI PADA ZAMAN ORLA, ORBA, DAN REFORMASI.



    A.    Asas-Asas Demokrasi
Menurut S.W. Couwenberg, asas demokrasi yang melandasi rechtstaat ada lima yaitu:[1]
1.      Asas Hak Politik
Setiap individu berhak untuk turut serta dalam prosedur pemilihan dengan jalan memberikan suaranya dimana hal itu mempunyai pengaruhterhadap pembentukan organ-organ legislatif dan eksekutif.
2.      Asas Perwakilan
Kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara dan dalam masyarakat diputuskan oleh badan perwakilan, yang dipilih melalui pemilihan umum.
3.      Asas Mayoritas
Mayoritas adalah hasil dari suatu integrasi tertentu yang merupakan fungsi dari partai-partai politik. Pembentukan suatu mayoritas mutlak adalah berbahaya jika para pemilih diberi kebebabasan tak terbatas di dalam pemilihan para wakilnya.[2]
4.      Asas Pertanggungjawaban
Organ-organ pemerintahan dalam menjalankan fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik, yaitu kepada lembaga perwakilan.
5.       Asas Publik
Adanya kebebasan pers dan keterbukaan informasi publik, dimana demokrasi membutuhkan informasi yang akurat dan setiap warga harus mendapatkan akses informasi yang memadai.[3]

   B.     Hakikat Nama Demokrasi
Demokrasi terbagi atas dua pengertian, berdasarkan etimologi dan terminologi. Secara etimologi demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi secara bahasa demis-cratein atau demos-cratos berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat. Sedangkan secara terminologi demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[4]

   C.    Jenis-jenis Demokrasi
1.      Demokrasi langsung
Suatu pemerintahan dimana rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan tanpa melaluiperwakilan atau dengan kata lain rakyat secara langsung diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan untuk menjalankan kebijakan pemerintahan.
2.      Demokrasi Tidak Langsung
Demokrasi dimana pelaksanaannya melalui sistem perwakilan yang telah dipercaya atau dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
3.      Demokrasi perwakilan dengan sistem pengawasan langsung dari rakyat
Demokrasi ini merupakan campuran antara demokrasi langsung dan tidak langsung. Maka dilakukan Referendum, yaitu pemungutan suara untuk mengetahui kehendak rakyat secara langsung.[5]
   D.    Demokrasi di Indonesia
1.      Demokrasi Parlementer (Liberal) (1945-1959) (ORLA)
Demokrasi liberal sering disebut demokrasi parlementer, karena lembaga yang memegang kekuasaan menentukan terbentuknya kabinet atau DPR. Pada massa ini kekuatan demokrasi belum tampak karena demokrasi dan pemerintahan masih berpusat pada bangsawan dan kaum terpelajar,sehingga rakyat kebanyakan tidak mengerti apa itu demokrasi,mengingat usia kemerdekaan Indonesia yang masih muda saat itu dan keadaan sosial politik yang belum stabil setelah penggantian konstitusi,maka tak ayal banyak rakyat Indonesia yang terutama berada di bawah garis kemiskinan lebih memikirkan kelangsungan hidupnya daaripada harus memikirkan tentang demokrasi dan pemerintahan. Adapaun landasan demokrasi liberal yaitu makumat pemerintah tanggal 3 november 1945, RIS 1949 (pasal 116 ayat 2), dan UUDS 1950 (pasal 83 ayat 2).
2.      Demokrasi Terpimpin (juli 1959- april 1965) (ORLA)
Demokrasi terpimpin merupakan kebalikan dari demokrasi liberal dalam kenyataanya demokrasi yang dijalankan Presiden Soekarno menyimpang dari prinsip-prinsip negara demokrasi. Dan pada masa ini tidak memperhatikan hak warganya dan tidak mengenal lembaga kekuasaan dalam tata pemerintahannya. Adapun salah satu ciri khasnya yaitu dominasi dari presiden, terbatasnya peranan parpol, berkembangnya pengaruh komunis, dll. Bahkan pada masa ini untuk para pemain politik demokrasi hanyalah sebuah kendaraan. Layaknya mobil, demokrasi merupakan sarana mereka untuk maju sebagai pemimpin politik.
3.      Demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru (1965-1998)
Latar belakang munculnya Demokrasi Pancasila adalah adanya berbagai penyelewengan dan permasalahan yang dialami bangsa indonesia pada masa berlakunya Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Adapun ciri umum demokrasi pancasila yaitu mengutamakan musyawarah, kepentingan negara dan masyarkat, tidak memkasakan kehendak pada orang lain, adanya rasa tanggung jawab. Demokrasi pancasila berlaku sejak Maret 1966-Mei 1998 dan sampai sekarang berlaku Demokrasi Pancasila dalam Reformasi.
4.      Demokrasi Langsung pada Era Orde Reformasi (1998-sekarang)
Pelaksanaan demokrasi pada masa reformasi pada dasarnya adalah demokrasi dengan mendasarkan pada UUD 1945 yang telah diamandemen oleh MPR.  Dengan penyempurnaan pelaksanaannya, meningkatkan peran lembaga-lembaga negara dengan menegakkan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan, (check and balance system ) yang jelas antar lembaga-lembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif dan yang lebih jelas tidak ada kekuasaan berlebih pada salah satu lembaga.[6]



[1] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm 246
[2] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2011, hlm 415
[3] Jakni, Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan Tinggi, Alfabeta, Bandung, 2014, hlm 239
[4] Yuswalina dan Kun Budianto, Hukum Tata Negara di Indonesia, Setara Press, Malang, 2016, hlm 132
[5] Jakni, op cit. hlm 240-241
[6] Ibid, hlm 243-247

Penyebab Negara Hukum Indonesia Mengalami Konvergensi antara Rechstaat dan The Rule Of Law, dan Sistem Hukum di Indonesia



    A.    Penyebab Negara Hukum Indonesia mengalami Konvergensi
Di Indonesia inti dari rule of law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakatnya, khususnya keadilan sosial. Sedangkan Rechtsstaat memiliki inti upaya memberikan perlindungan pada hak-hak warga negara, berkenaan dengan perlindungan hak dasar yang pada saat ini lebih dikenal dengan HAM.[1]  Pembukaan UUD 1945 memuat prinsip-prinsip rule of law, yang pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan” bagi rakyat Indonesia.[2] Politik hukum indonesia tentang konsepsi negara hukum menganut unsur-unsur yang baik dari rechtsstaat dan the rule of law, bahkan sistem hukum lain sekaligus. Unsur-unsur rechtstaat maupun unsus-unsur rule of law, bagi negara Indonesia telah terpenuhi, sehingga di Indonesia konvergensi antara rechsstaat dan rule of law disamakan kedudukannya. Namun demikian Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri sebagai negara yang bedasarkan hukum. Dalam konsepnya Indonesia memiliki kekhasan yang dalam berdasar atas Cita Negara Pancasila dan hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.[3]

   B.     Sistem hukum yang dianut Indonesia
a.      Anglo saxon
Sumber dari sistem hukum anglo saxon adalah putusan hakim/pengadilan. Melalui keputusan hakim prinsip dan kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum. Namun demikian, hakim terikat pada asa doctrine of precedent.
b.      Eropa Konstinental
Prinsip dasar sistem hukum eropa konstinental adalah bahwa hukum itu memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Sumber hukum utama dalam sistem ini ialah undang-undang yang dibentuk oleh badan legislatif.
c.       Hukum Islam
Hukum islam juga menjadi salah satu sistem hukum diindonesia, hukum islam sendiri muncul dan mempengaruhi aturan-aturan yang berlaku di Indonesia, sebagai wujud dari kebutuhan masyarakat itu sendiri khususnya yang beragama islam. Dengan demikian hukum islam mulai memberikan pengaruhnya di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya perundang-undangan yang memperkokoh hukum islam.
d.      Hukum Adat
Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.[4]


[1] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, Hlm. 135
[2] I Dewa Gede Atmadja, Ilmu Negara, Malang: Setara Press, 2002, hlm 18
[3] Moh. Mahfud M. D,. Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta, LP3ES. 2007.
[4] Jakni, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, Alfabeta, 2014, hlm 88-90

Karakteristik Negara Hukum Rechsstaat


1.      Adanya PTUN

Peradilan tata usaha negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman untuk rakyat yang mencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Pengadilan Tata Usaha  Negara di atur dalam UU No.5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang kemudian pembentukannya dimasing-masing Ibukota Kabupaten atau Kotamadya didasarkan pada Keputusan Presiden. Latar belakang dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu lembaga peradilan di Indonesia disebabkan oleh Indonesia sebagai negara hukum dan Indonesia sebagai negara kesejahteraan.[1]

Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk lebih mendalami urgensi eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dilihat dari tujuan dan fungsinya dapat dilihat dari beberapa pendekatan, yaitu pendekatan dari segi filsafat, segi teori, segi historis dan segi sistem terhadap peradilan administrasi.[2] Pada konsep rechtsstaat terdapat lembaga peradilan administrasi yang merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri. Dalam setiap negara hukum harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara. PTUN dianggap dapat menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa.

Adanya tata usaha negara dalam negara hukum yaitu karena untuk uji materi basic yang bersifat tetap yang dibuat oleh lembaga liberal, dan peradilan ini hanya ada di dalam hukum formal.

2.      Adanya PTN

Pentingnya Mahkamah Konstitusi adalah dalam upaya untuk memperkuat system checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisah untuk menjamin demokrasi. Selain adanya Pengadilan Administrasi Negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara (verwaltungsgericht), di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi ‘civil law’, sejak tahun 1920, juga berkembang adanya Pengadilan Tata Negara (verfassungsgericht). Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini makin dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi tegaknya Negara Hukum modern. [3]

Jadi intinya, pentingnya keberadaan lembaga ini adalah dalam upaya memperkuat sistem check and balance antara cabang-cabang kekuasaan misalnya dengan wewenang memutus sengketa antar lembaga negara.
3.      Adanya Asas Legalitas

Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas yang menentukan setiap tindak pidana harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan.

Setiap orang yang melakukan tindak pidana harus dapat mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu. Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum, nulla paoena sine praevia lege poenali”. Artinya, “tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu”.

Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP mengandung pokok tentang asas legalitas yaitu:
a.       Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan tersebut tidak diatur dalam suatu pera-turan perundang-undangan sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum orang tersebut melakukan perbuatan.
b.      Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh menggunakan analogi, dan
c.       Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku surut

Asas legalitas ini sangat penting untuk menjamin kepastian hukum sebab dengan demikian keadilan bagi terdakwa akan tersedia sesuai kejujuran terdakwa dalam fakta persidangan (dalam hal ini khususnya mengenai waktu terjadinya peristiwa hukum).

4.      Adanya Pengakuan HAM

Setiap manusia sejak dilahirkan menyandang hak-hak yang bersifat asasi. Negara tidak dibenarkan membatasi/mengurangi makna kebebasan dan hak-hak asasi manusia itu. Adanya perlindungan Ham merupakan pilar penting dalam setiap negara hukum. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu.

Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.[4] Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia berakar dalam Penghormatan atas Martabat Manusia (Human Dignify).


[1] S.F Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2003, hlm. 1.
[2] Umar Said Sugiarto, 2013, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 325
[3] Jimly Asshiddiqie, Makalah gagasan Negara Hukum Indonesia, hlm 18
[4] Jimly Asshiddiqie, loc. cit.