Sebelum membuat makalah, lebih baik kita melihat contohnya, berikut adalah contoh makalah yang semoga bisa bermanfaat bagi kamu yang pengen mengetahuinya :)
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wa rohmatullohi wa
barokatuh
Alhamdulillah
kami panjatkan kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala,
karena dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya
akhirnya makalah ini dapat saya selesaikan dengan baik. Makalah
ini membahas tentang hal hal yang mengenai Transaksi
ekonomi dalam agama islam yang berjudul : “SYIRKAH”.
Kami menyadari
bahwa tanpa bantuan dari
berbagai pihak, penyusunan
makalah ini tidak akan berjalan dengan baik. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa dalam penulisan
makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
pada masa yang akan datang.
Akhir kata semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum wa rohmatullohi
wabarokatuh
Isra Jum’atul Hasanah
07 November
2013
Penulis
------------------------------------------------------------------------------------------
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
upaya memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan terlepasdari
hubungan terhadap sesama manusia. Tanpa hubungan dengan orang lain,
tidak mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi.Terkait dengan hal
ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap sesamamanusia. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah danagn pihak lain.
Di
sini dipaparkan berbagai macam definisi dan teori-teori tentang Syirkah.Kata
syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyraku
(fi’ilmudhari’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya
menjadi sekutuatau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh
dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri
dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih
(afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah
berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak
dapat lagi dibedakan satu bagiandengan
bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkahadalah suatu akad antara dua pihak atau lebih,
yang bersepakat untuk melakukan suatuusaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).
Menurut istilah para fuqaha’, syirkah adalah kerja sama
untuk mendayagunakan(tassaruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh
keduanya , yaknisaling
mengizinkan kepada salah satunya untuk mendaya gunakan harta milik
keduanya,namun masing-masing memiliki hak untuk bertassaruf. (M. Rizal Qosim,
2009: 112)Syirkah hukumnya ja’iz (mubah),
berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihiwasalam berupa taqrîr (pengakuan)
beliau terhadap syirkah.
B. Tujuan penyusunan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini
adalah :
1. Ingin mengetahui Definisi, Dasar
Hukum, Macam-macam Syirkah.
2. Ingin mengetahui Syarat –syarat
Syirkah.
C. Kegunaan Penyusunan
Berikut merupakan kegunaan
penyusunan makalah ini :
1. Untuk mengetahui Definisi, Dasar
Hukum, Macam-macam Syirkah.
2. Untuk mengetahui Rukun – rukun Syirkah.
3. Untuk menambah pengetahuan dan
kemampuan penyusun dan pembaca dalam
memperaktikan syirkah didalam kehidupan sehari – hari dengan benar.
------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian Syirkah
Kata syirkah
dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku
(fi’il mudhâri’), dan mashdar (kata dasar)nya ada tiga wazn
(timbangan), boleh dibaca dengan salah satunya, yaitu: syirkatan / syarikatan
/syarakatan; artinya persekutuan atau perserikatan. Dan dapat diartikan
pula dengan percampuran, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad, ayat 24. (Taudhihul
Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).
Akan
tetapi, menurut Abdurrahman Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih
fasih. (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, III/58)
Adapun
menurut istilah para ulama fikih, syirkah adalah suatu akad kerja sama
antara dua orang atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. (Bidayatul
Mujtahid, Ibnu Rusydi II/253).
II. Hukum Syirkah:
Syirkah hukumnya jâ’iz
(mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Saw berupa taqrîr (pengakuan)
beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada
saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Saw membenarkannya.
Nabi Saw bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: “Aku adalah pihak ketiga
dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang
lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
III. Rukun syirkah yang pokok ada 3
(tiga) yaitu:
Menurut
mayoritas ulama fikih, bahwa rukun syirkah itu ada 3 (tiga), yaitu:
(1) akad
(ijab-kabul), disebut juga shighat;
(2) dua
pihak yang berakad (al-‘âqidâni), syaratnya harus memiliki
kecakapan melakukan tasharruf (pengelolaan harta).
3) obyek akad, disebut
juga al-ma’qûd ‘alaihi, yang mencakup pekerjaan (al-amal)
dan atau modal (al-mâl). (Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibi al-Arba’ah,
Abdurrahman al-Jaziri).
Syarat
sah akad
syarat
sah akad ada 2 (dua) yaitu:
(1) obyek akadnya berupa tasharruf,
yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad
jual-beli.
(2)
obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah
menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha).
IV. Macam-Macam Syirkah:
Syirkah ada
dua jenis:
a. Syirkah Amlaak (Hak
Milik)
Yaitu
penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak atau barang
berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui
transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah
seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia
tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya. (Taudhihul Ahkam,
Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).
Contoh:
“ si A dan si B diberi
wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya,
atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan,
maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.”
b. Syirkah Uquud
(Transaksional/kontrak)
Yaitu
akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan,
misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti
inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah
seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah
dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik
barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang
yang dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-Macam Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak):
Berdasarkan penelitian
para ulama fikih
terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam
syarikah: yaitu:
(1) syirkah al- inân.
(2) syirkah
al-abdân
(3) syirkah
al-mudhârabah
(4) syirkah
al-wujûh, dan
(5) syirkah
al-mufâwadhah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat
macam, yaitu: syirkah inân, abdân, mudhârabah, dan wujûh.
Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân,
abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah,
yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah. Sedangkan menurut
Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya yang
telah ditetapkan.
1. Syirkah al-‘Inaan,
Yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih dengan harta masing-masing untuk
dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungan dibagi di antara mereka, atau
salah seorang sebagai pengelola dan mendapat jatah keuntungan lebih banyak
daripada rekannya.
Jenis syirkah
ini yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang, karena tidak disyaratkan
adanya kesamaan modal, usaha dan tanggung jawab.
Dan hukum syirkah
ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh
Ibnu al-Mundzir.
Contohnya:
“A
dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan
memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi
modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.”
Dalam
syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd);
sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh
dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada
saat akad.
Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya,
masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ
Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
Diriwayatkan
oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas
besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka
(pihak-pihak yang bersyirkah).”
2.
Syirkah
al-Mudharabah
Yaitu,
seseorang sebagai pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak
pengelola (mudharib) untuk diperdagangkan, dan dia berhak mendapat
prosentase tertentu dari keuntungan.
3. Syirkah al-Wujuuh
Yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik
serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari
suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang
didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka. (Bada-i’u
ash-Shana-i’, karya al-Kasani VI/77)
Syirkah semacam ini juga
dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan hanbaliyah, namun tidak sah menurut
kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah. (Al-Fiqhu Al-Islami wa
Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/801)
Disebut
syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian
seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka
memiliki nama baik, sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan
nama baik tersebut.
Contohnya:
“A
dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh,
dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A
dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya
menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang).”
Dalam
syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan.
4. Syirkah al-Abdaan (syirkah usaha)
Yaitu
kerja sama antaradua orang atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh
mereka, yakni masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal),
tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesame dokter di
klinik, atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua
orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah.
Kerja
sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.
Syirkah ini kadang-kadang
disebut juga dengan Syirkah al-A’maal dan ash-Shanaa-i’.
Dalam
syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi
boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari
beberapa tukang kayu dan tukang besi. (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
III/260). Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan
halal.
Keuntungan
yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh
juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Contohnya:
“A
dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan.
Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi
dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.”
Syirkah
‘abdan
hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan
Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad
membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.”
(HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Hal
itu diketahui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau
membenarkannya dengan taqrîr.
5. Syirkah al-Mufawadhah
Yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi
dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah
Mufawadhah
juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam syirkah itu semua
anggoga sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘inan,
abdan dan wujuh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain
hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama
tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima
tenaga kerja, dan sejenisnya.
Namun
tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang
didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga
masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang
yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak
dan sejenisnya.
Dengan
demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam hal-hal
berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang dibagi
oleh masing-masing pihak, dan agama. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu,
karya Wahbah Az-Zuhaily IV/798, dan Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
III/259-260).
Hukum
Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama
seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah yang
sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis
syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya.
Adapun
keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya;
yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah
inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah),
atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya:
“
A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik
sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja.
Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang
secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.”
Dalam
hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu
“ketika
B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja
saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka
bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal,
sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing
memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah
inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas
dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh
antara B dan C. “
Dengan
demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah
yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
V.
Mengakhiri Syirkah
1. Salah satu pihak membatalkannya
meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
2. Salah satu pihak kehilangan
kecakapan untuk mengolah harta.
3. Salah satu pihak meninggal dunia.
4. Modal para anggota syirkah lenyap
sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.
VI. Hikmah Syirkah
Hikmah yang diperoleh dari praktik
syirkah adalah.
a. menggalang kerja sama untuk saling
menguntungkan antara pihak-pihak yang
bersyirkah.
b. membantu meluaskan ruang rezeki
karena tidak merugikan secara ekonomi.
------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pengertian-pengertian diatas dapat di tarik kesimpulan, bahwa syirkah
adalah persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang atau lebih yang
melakukan akad untuk urusan harta, yang modalnya bisa dibagi dua atau
berdasarkan keputusan bersama.
Biasanya
syirkah dilakukan di perusahaan, yang mana dari mereka ada yang mempunyaisaham
dan ada yang menjalankan saham.
Syirkah akan
berlaku jika masing-masing pihak berakad untuk melakukan syikrah
itu. Syarat-syarat syirkah pun harus terpenuhi dengan jelas, agar syirkah
tersebut sah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar
Pustaka
1. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî
al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.
2. Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan
Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute.
3. Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib
al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.
4. Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah
al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.
5. —————. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp.
Darus Salam.
6. Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu.
Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.
7. Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil
dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law).
Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
8. Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law
and Finance: Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.
- SEMOGA BERMANFAAT-
Sumber: www.isra28blog.blogspot.com